Salam Indonesia!

Salam yg mempersatukan kita semua sebagai anak bangsa!

"Be Bold, Brave,Strong,Courageous,and Fearless"

I took from The Hanuman Factor by Anand Krishna. This is my Mantra, an open Mantra, No secret,nothing metaphoric or symbolic..

Minggu, 07 Februari 2010

"Cintai Negara Diatas Diri Sendiri" (29 Agustus 2009)

Akademika News

Tampaknya kita masih harus bercermin untuk menggali makna kebangkitan nasional yang baru saja kita jelang. Tak dapat dipungkiri, masyarakat menilai bahwa generasi muda saat ini kebanyakan cenderung lebih bersifat hedon daripada memikirkan persoalan nasional bangsanya. Keresahan ini disadari pula oleh Putu Sri Puji Astuti, koordinator National Integration Movement (Gerakan Integrasi Nasional-NIM) Denpasar.

Mbak Cicha 1

Perempuan kelahiran Yogyakarta ini mengungkapkan, keresahannya akan gaya hidup generasi muda masa kini yang cenderung instan. Dalam artian, bahwa para pemuda terlalu terbawa ke dalam pengaruh modernisasi sebagai pengaruh pendidikan media dengan progam-programnya yang menjual mimpi-mimpi. “Padahal peran pemuda sangat penting bagi suatu bangsa, karena dari sanalah muncul dan tumbuh pucuk-pucuk generasi penerus selanjutnya. Terlebih, Indonesia sejak dulu telah menjadi incaran bangsa-bangsa lain. Sehingga menyusutnya nasionalisme akan membantu mereka merongrong kembali bangsa kita yang sangat kaya ini,” ungkapnya.

Ia sendiri memilih untuk bergabung dengan NIM sebagai wadah untuk semangat kebangsaannya. “Banyak kegiatan yang sudah dilakukan NIM untuk mengembangkan semangat kebangsaan para pemuda. Kami mengajak pemuda di Indonesia untuk mencintai bangsa dan negara melalui cara-cara yang menyenangkan,” cetusnya serius.

Sudah sepatutnya para pemuda sadar dan bergerak maju untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme. Terus menggaungkan produk Indonesia serta mencintai negara dengan mencari solusi bersama untuk persoalan-persoalan bangsa merupakan contoh-contoh nyata yang dapat kita lakukan bersama-sama.

“Cintai negara di atas kau mencintai dirimu sendiri. Dan cintai Indonesia di atas kepentingan pribadi serta jadilah bangga terhadap Indonesia,” ajak perempuan yang pernah tergabung dalam Bala Mahardika dan Senat Sastra Universitas Udayana ini penuh semangat.

Dian Purnama

http://akademikaunud.wordpress.com/2009/08/29/putu-sri-puji-astuti-cintai-negara-di-atas-diri-sendiri/

Sandi Sutasoma 2007

Resensi buku
Sandi Sutasoma

Judul : Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Tebal : 312 + vi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, 2007

”Kelak para penguasa dari Seluruh Kepulauan Nusantara akan mendatangimu. Dalam dirimu, Sutasoma, masa lalu, masa depan, dan masa mendatang menyatu. Engkaulah tujuan setiap pejalan” ( Purushada Shaanta, LIII : 3 & 4 )


Telah 62 tahun NKRI berdiri dan telah begitu panjang lika-liku perjalanan ditempuh sebagai bangsa hingga saat ini. Terutama sejak reformasi, kebhinekaan atau sering disebut Bhinneka Tunggal Ika enggan dibicarakan. Seolah sebagai bangsa kita mengalami amnesia panjang yang tak dapat kita obati. Hal ini sangat ironis karena membicarakannya saja sudah enggan apalagi mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga menjadi semboyan negara kita. Bukan mustahil tidak banyak dari kita yang mengetahui darimana sumber semboyan negara kita. Bisa dibayangkan semboyan negara yang merupakan alat pemersatu bangsa wujud bukunyapun kita tidak tahu

Buku latin pertama yang dicetak oleh PT Bali Mas

Di tengah sibuknya setiap insan negeri ini dengan urusan perut, urusan sosial yang menyita waktu hingga musibah yang datang silih berganti sehingga membuat orang jarang bertatap muka dan berinteraksi dari hati ke hati. Menganggap apa yang diyakini sendiri sebagai yang benar dan menganggap keyakinan orang atau kelompok lain salah, merupakan refleksi alam bawah sadar dari evolusi kehewanian manusia yang terangkat kembali ke permukaan. Menurut Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, inilah pentingnya pendidikan yang mendidik manusia untuk mencapai budhi dan hridaya dengan jalan setiap saat memperhalus dengan budaya yang memiliki lokal wisdom.

Ini bukan sekedar Buku, bahkan boleh dikata bukan buku. Ini adalah sebuah alat atau dalam bahasa kuno Yantra untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular, dan untuk membangunkan kembali jiwanya yang ada di dalam diri kita yang sudah lama tertidur. Demikian yang telah dikatakan oleh Anand Krishna dalam kata pembuka pada buku ini. Lebih lanjut Beliau juga mengatakan bahwa buku ini adalah Mantra, spell. Yaitu mantra yang akan mengubah diri kita semua untuk selamanya. Sebagai anak bangsa siapkah kita menerima tantangan ini?

Dalam buku ini dikatakan oleh penulis bahwa Sutasoma adalah ”Surat” yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca, ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya. Fisik sang Maha Patih sudah terlalu lemah untuk itu. Saat sesaat lagi beliau akan meninggalkan dunia fana, teringat olehnya dimasa jayanya. Semua orang menyanjungnya dan yang terdengar olehnya hanyalah suara Empu Prapanca. Suara Empu Tantular tidak terdengar olehnya.

Buku ini sangat menggelitik, tegas, dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Tidak banyak yang paham akan pesan yang tersirat dalam kisah ini bila dibaca secara langsung. Di samping menggunakan bahasa Sastra Jawa kuno, kisah Sutasoma merupakan kegelisahan Empu Tantular dalam melihat sepak terjang pemimpin di jaman itu. Dari buku ini penulis ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa di manapun berada bahwa pesan yang disampaikan oleh Empu Tantular sangat relevan bukan saja pada masa itu bahkan saat ini dan sepanjang masa. Di tengah pergolakan-pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain. Apabila hal ini tidak segera diambil langkah antisipasi maka kanker ganas akan menggerogoti tubuh kita. Karena saat ini kekuatan-kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini lewat penjajahan di bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi. Karena tentu saja dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi maka kita kehilangan jati diri. Setelah itu mengubah peta politik menjadi sangat mudah.

Sebagai bangsa saat ini kita sedang mengalami Amnesia. Kita lupa bahwa Sriwijaya adalah dinasty pertama di dunia yang berkuasa lebih dari 8 abad. Keberhasilan Sriwijaya kita remehkan, karena merupakan kerajaan Hindu, Budha. Mereka dianggap mewakili jahiliyah. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit adalah keberhasilan manusia Indonesia bukan keberhasilan Hindu atau Budha. Pemikiran para wali telah mewarnai seluruh kehidupan di kepulauan kita. Inilah pentingnya pengalaman sejarah, karena tanpa sejarah masa lalu yang panjang itu Indonesia tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Keberhasilan kita di masa kini belum menyamai keberhasilan kita di masa lalu. Dan satu-satunya jalan adalah kerja keras untuk memastikan bahwa masa kini dan masa depan kita lebih cemerlang dan gemilang.

Sistem negara kesatuan bagi kepulauan kita tidak dapat ditawar lagi kita tidak dapat ditawar lagi. Satu kesalahan kecil saja sudah cukup untuk memecah-belah bangsa ini. Kebhinnekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika adalah “Hal truth” untuk itu penggalan berikutnya mesti diperhatikan “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak ada dualitas dalam dharma, dalam kebajikan yang melandasi setiap karya bagi negara dan bhakti bagi ibu pertiwi. Selain itu kebijakan itu mesti menjunjung kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia bukan fotocopyan Arab, China, India atau Eropa.

Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman, atau pluralitas. Namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tidak terpikir dan tidak dilakoni. Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu., karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita.

Inilah Pesan-pesan penting dari Mpu Tantular dan Mahapatih Gajah Mada yang hendak berbicara dengan setiap putra-putri Ibu Pertiwi yang disajikan oleh penulis. Bahwa pertama sebagai anak bangsa kita harus berhati-hati dengan partai-partai politik yang berkiblat pada ideologi-ideologi asing. Secara proaktif hentikan mereka untuk meracuni otak setiap anak bangsa harus segera berhenti atau dihentikan. Kedua kita harus kembali pada kearifan lokal, pada nilai-nilai budaya asal Nusantara yang bersifat universal dan masih relevan, ketiga kita semua harus menyadarkan para petinggi negara akan peran mereka sebagai pemimpin bangsa, supaya mereka tidak mengorbankan kepentingan politik jangka pendek. Kita membutuhkan negarawan, bukan sekedar pejabat. Keempat menyadarkan rakyat akan tugas serta kewajibannya terhadap negara dan bangsa, bukan terhadap ideologi asing yang sering dikaitkan dengan agama untuk mengeksploitasi mereka. Kelima Identitas negara dan bangsa harus jelas-jelas ditempatkan diatas segala macam identitas diri yang lain. Untuk mengunjungi negara dimana penduduknya beragama sama dengan kita pun kita masih membutuhkan paspor yang dikeluarkan oleh negara kita. Keenam Keseragaman tidak sesuai dengan watak manusia Indonesia, tidak sesuai dengan alam kita dan keadaan geografis kepulauan kita. Ketujuh Diatas segalanya kita harus belajar dari ”pengalaman sejarah” masa lalu.. kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Selalu memperbaiki diri dan jangan mengulangi sesuatu yang salah, sesuatu yang keliru.

Untuk itu bangkitlah manusia Indonesia, bangkitlah untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Berkaryalah untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Pesan-pesan dalam buku ini membakar jiwa setiap anak bangsa. Bacalah buku ini bila andapun ingin terbakar dan merasakan panasnya kepingan jiwa Mpu Tantular. Saat ini tak ada cara lain untuk ikut terbakar atau hidup sia-sia tanpa makna melihat kehancuran tanpa berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara.

Sandi Sutasoma 2007

Resensi buku
Sandi Sutasoma

Judul : Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Tebal : 312 + vi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, 2007

”Kelak para penguasa dari Seluruh Kepulauan Nusantara akan mendatangimu. Dalam dirimu, Sutasoma, masa lalu, masa depan, dan masa mendatang menyatu. Engkaulah tujuan setiap pejalan” ( Purushada Shaanta, LIII : 3 & 4 )


Telah 62 tahun NKRI berdiri dan telah begitu panjang lika-liku perjalanan ditempuh sebagai bangsa hingga saat ini. Terutama sejak reformasi, kebhinekaan atau sering disebut Bhinneka Tunggal Ika enggan dibicarakan. Seolah sebagai bangsa kita mengalami amnesia panjang yang tak dapat kita obati. Hal ini sangat ironis karena membicarakannya saja sudah enggan apalagi mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga menjadi semboyan negara kita. Bukan mustahil tidak banyak dari kita yang mengetahui darimana sumber semboyan negara kita. Bisa dibayangkan semboyan negara yang merupakan alat pemersatu bangsa wujud bukunyapun kita tidak tahu

Buku latin pertama yang dicetak oleh PT Bali Mas

Di tengah sibuknya setiap insan negeri ini dengan urusan perut, urusan sosial yang menyita waktu hingga musibah yang datang silih berganti sehingga membuat orang jarang bertatap muka dan berinteraksi dari hati ke hati. Menganggap apa yang diyakini sendiri sebagai yang benar dan menganggap keyakinan orang atau kelompok lain salah, merupakan refleksi alam bawah sadar dari evolusi kehewanian manusia yang terangkat kembali ke permukaan. Menurut Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, inilah pentingnya pendidikan yang mendidik manusia untuk mencapai budhi dan hridaya dengan jalan setiap saat memperhalus dengan budaya yang memiliki lokal wisdom.

Ini bukan sekedar Buku, bahkan boleh dikata bukan buku. Ini adalah sebuah alat atau dalam bahasa kuno Yantra untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular, dan untuk membangunkan kembali jiwanya yang ada di dalam diri kita yang sudah lama tertidur. Demikian yang telah dikatakan oleh Anand Krishna dalam kata pembuka pada buku ini. Lebih lanjut Beliau juga mengatakan bahwa buku ini adalah Mantra, spell. Yaitu mantra yang akan mengubah diri kita semua untuk selamanya. Sebagai anak bangsa siapkah kita menerima tantangan ini?

Dalam buku ini dikatakan oleh penulis bahwa Sutasoma adalah ”Surat” yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca, ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya. Fisik sang Maha Patih sudah terlalu lemah untuk itu. Saat sesaat lagi beliau akan meninggalkan dunia fana, teringat olehnya dimasa jayanya. Semua orang menyanjungnya dan yang terdengar olehnya hanyalah suara Empu Prapanca. Suara Empu Tantular tidak terdengar olehnya.

Buku ini sangat menggelitik, tegas, dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Tidak banyak yang paham akan pesan yang tersirat dalam kisah ini bila dibaca secara langsung. Di samping menggunakan bahasa Sastra Jawa kuno, kisah Sutasoma merupakan kegelisahan Empu Tantular dalam melihat sepak terjang pemimpin di jaman itu. Dari buku ini penulis ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa di manapun berada bahwa pesan yang disampaikan oleh Empu Tantular sangat relevan bukan saja pada masa itu bahkan saat ini dan sepanjang masa. Di tengah pergolakan-pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain. Apabila hal ini tidak segera diambil langkah antisipasi maka kanker ganas akan menggerogoti tubuh kita. Karena saat ini kekuatan-kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini lewat penjajahan di bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi. Karena tentu saja dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi maka kita kehilangan jati diri. Setelah itu mengubah peta politik menjadi sangat mudah.

Sebagai bangsa saat ini kita sedang mengalami Amnesia. Kita lupa bahwa Sriwijaya adalah dinasty pertama di dunia yang berkuasa lebih dari 8 abad. Keberhasilan Sriwijaya kita remehkan, karena merupakan kerajaan Hindu, Budha. Mereka dianggap mewakili jahiliyah. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit adalah keberhasilan manusia Indonesia bukan keberhasilan Hindu atau Budha. Pemikiran para wali telah mewarnai seluruh kehidupan di kepulauan kita. Inilah pentingnya pengalaman sejarah, karena tanpa sejarah masa lalu yang panjang itu Indonesia tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Keberhasilan kita di masa kini belum menyamai keberhasilan kita di masa lalu. Dan satu-satunya jalan adalah kerja keras untuk memastikan bahwa masa kini dan masa depan kita lebih cemerlang dan gemilang.

Sistem negara kesatuan bagi kepulauan kita tidak dapat ditawar lagi kita tidak dapat ditawar lagi. Satu kesalahan kecil saja sudah cukup untuk memecah-belah bangsa ini. Kebhinnekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika adalah “Hal truth” untuk itu penggalan berikutnya mesti diperhatikan “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak ada dualitas dalam dharma, dalam kebajikan yang melandasi setiap karya bagi negara dan bhakti bagi ibu pertiwi. Selain itu kebijakan itu mesti menjunjung kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia bukan fotocopyan Arab, China, India atau Eropa.

Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman, atau pluralitas. Namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tidak terpikir dan tidak dilakoni. Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu., karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita.

Inilah Pesan-pesan penting dari Mpu Tantular dan Mahapatih Gajah Mada yang hendak berbicara dengan setiap putra-putri Ibu Pertiwi yang disajikan oleh penulis. Bahwa pertama sebagai anak bangsa kita harus berhati-hati dengan partai-partai politik yang berkiblat pada ideologi-ideologi asing. Secara proaktif hentikan mereka untuk meracuni otak setiap anak bangsa harus segera berhenti atau dihentikan. Kedua kita harus kembali pada kearifan lokal, pada nilai-nilai budaya asal Nusantara yang bersifat universal dan masih relevan, ketiga kita semua harus menyadarkan para petinggi negara akan peran mereka sebagai pemimpin bangsa, supaya mereka tidak mengorbankan kepentingan politik jangka pendek. Kita membutuhkan negarawan, bukan sekedar pejabat. Keempat menyadarkan rakyat akan tugas serta kewajibannya terhadap negara dan bangsa, bukan terhadap ideologi asing yang sering dikaitkan dengan agama untuk mengeksploitasi mereka. Kelima Identitas negara dan bangsa harus jelas-jelas ditempatkan diatas segala macam identitas diri yang lain. Untuk mengunjungi negara dimana penduduknya beragama sama dengan kita pun kita masih membutuhkan paspor yang dikeluarkan oleh negara kita. Keenam Keseragaman tidak sesuai dengan watak manusia Indonesia, tidak sesuai dengan alam kita dan keadaan geografis kepulauan kita. Ketujuh Diatas segalanya kita harus belajar dari ”pengalaman sejarah” masa lalu.. kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Selalu memperbaiki diri dan jangan mengulangi sesuatu yang salah, sesuatu yang keliru.

Untuk itu bangkitlah manusia Indonesia, bangkitlah untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Berkaryalah untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Pesan-pesan dalam buku ini membakar jiwa setiap anak bangsa. Bacalah buku ini bila andapun ingin terbakar dan merasakan panasnya kepingan jiwa Mpu Tantular. Saat ini tak ada cara lain untuk ikut terbakar atau hidup sia-sia tanpa makna melihat kehancuran tanpa berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara.

The Gita of Management Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern

The Gita of Management
Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern

Judul : The Gita of Management
Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern
Pengarang : Anand Krishna
Tebal : 322 halaman + ix
Penerbit : PT Gramedia


Zaman telah berubah. Para eksekutif bisnis kini meninggalkan ajaran seni perang Sun Tzu.. dan beralih mengikuti petunjuk Bhagavad Gita yang penuh kedamaian….era Gordon Gekko, tokoh dalam film Wall Street, dengan bangga mengutip Sun Tzu telah pudar. Bhagavad Gita menggeser posisi the Art of War sebagai referensi managemen. (Business Week Indonesia 20-27 Desember 2006).

Anand Krishna adalah fenomena dalam republik ini. Puluhan bahkan hampir seratus karyanya mampu mengubah paradigma berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan karyanya dia mampu menyebarkan fragmen-fragmen kesadaran bagi siapa saja pembacanya baik di dalam negeri maupun di manca negara. Kali ini bukan saja mengangkat kekayaan budaya Nusantara yang terkandung dalam nilai-nilai Bhagavadgita, namun mengulasnya hingga memberikan suatu pemahaman yang secara simple dapat diterapkan dalam kegiatan bisnis bagi para eksekutif muda.

The Gita of Management panduan bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern ini adalah satu-satunya buku yang membahas kebijakan kuno dengan mengangkat nilai-nilai philosophy Budaya Nusantara untuk diterapkan dalam kegiatan bisnis masa kini. Pada awalnya kebijaksanaan spiritual kuno Bhagavadgita mungkin terdengar aneh untuk dijadikan panutan para manager masa kini yang terpacu angka.

Naskah kuno yang dikenal sebagai Song of the Divine One itu menceritakan percakapan Krishna dengan Arjuna (seorang ksatria yang tengah menghadapi krisis moral menghadapi sebuah perang besar yang menentukan). Sesungguhnya apa korelasinya sehingga kini para eksekutif Baratpun mulai beralih pada philosophy Bagavadgita ini? Salah satu pesan utamanya : pemimpin yang penuh pengertian seharusnya mampu menguasai segala dorongan ataupun emosi yang menutupi penilaian logis. Pemimpin yang baik itu tidak egois, mampu berinisiatif dan focus pada tugas ketimbang terobsesi dengan hasil atau perolehan finansial. Intinya mendahulukan tujuan sebelum diri sendiri. Nilai-nilai ini sangat bisa diterapkan dalam kepemimpinan korporat saat ini.

Di dalam dunia masyarakat, dimana hukum rimba masih berlaku, Sun Tzu adalah cahaya lilin yang dapat menerangi rimba itu. Sun Tzu mewakili manusia primordial, dimana hukum yang berlaku adalah fight or flight, melawan untuk keluar sebagai pemenang atau melarikan diri dari medan laga. Dalam dunia bisnis mereka yang “mati-matian” berusaha untuk “mematikan” persaingan dan bahkan pesaing adalah wujud dari mekanisme psikologis fight or flight. Sun Tzu adalah Nabi bagi mereka yang percaya bahwa kekerasan hanya dapat dilawan dengan kekerasan bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. Berbasiskan konsep dasar itu ia menyusun Seni Perang, untuk memberi kita kemenangan dan orang modern dengan antusias menerapkannya dalam bisnis. Disini penulis melihat pada saat itu perkembangan manusia dalam mengadopsi ide-ide Sun Tzu memang sesuai dengan kondisi dan perkembangan pada jamannya.

Dalam buku The Gita of Management ini penulis memberikan pemahamannya terhadap setiap ide-ide terbaik Sun Tzu dan bagaimana ide-ide tersebut berbeda dengan nilai-nilai dalam Bhagavadgita. Menurut Sun Tzu pengarang risalah managemen “The Art of War” yang sempat populer, kemenangan harus menjadi “Tujuan Utama” memenangi peperangan menyangkut disiplin pantang mundur. Agar termotivasi pasukan harus melihat adanya “Keuntungan jika berhasil mengalahkan musuh” Bagilah hasil rampasan dengan rekan sejawat dan anak buah. Berikan bagian dari daerah jajahan kepada mereka. 2000 tahun telah berlalu dan strategi Sun Tzu-pun masih diterapkan. Dengan selalu menaklukkan dan menciptakan market maka lambat laun akan merusak industri di tempat dimana strategi tersebut dijalankan. Hal inilah yang bertentangan dengan filosophy dalam Bagavadgita. Walaupun dalam buku ini penulis mengajak kita untuk tidak mempertentangkan karena sesungguhnya mereka tidak berdiri berhadapan, mereka tdak berseberangan.

Menurut Anand Krishna, Bhagavad Gita naskah kuno peradaban lembah Sungai Shindu bukan kita import dari India karena kita berada dalam satu wilayah peradaban yang memiliki akar budaya yang sama. Bhagavadgita yang sepertinya lebih sesuai dengan semangat masa kini, memuat kebijaksanaan Krishna. Ia lebih focus pada pikiran dan tindakan, bukan pada hasil. Berikut ini konsep Krishna: “Jangan pernah melakukan sesuatu hanya karena imbalan”, tutur Krishna. Tindakan yang dilakukan hanya demi hasrat duniawi akan berujung kegagalan. Lakukan sesuatu dengan baik. Dengan demikian hal-hal yang baik akan menjadi kenyataan. Setiap orang harus bekerja, tak seorangpun dapat menghindari pekerjaan. Dan seorang pekerja mesti berfikir pula. Tapi apa yang mesti dipikirkannya? ”Bukan hasil akhir, tetapi cara untuk melaksanakan tugasmu dengan baik” kata Sri Krishna. Sri Krishna memahami waktu sebagai kontinuitas. Apa yang biasa disebut ”masalalu” tidak terputuskan dari ”masa kini” apa yang disebut masa depan juga terkait dengan ”masa kini” walau tidak atau belum tampak bukan karena ia belum ada, tetapi karena kita belum bisa melihat sejauh itu.

Al Gore mantan wakil presiden AS, mengatakan dalam film dokumenter The Inconvenient Truth, “Pandangan manusia tentang perang sudah harus berubah. Kebiasaan lama (perang) dengan menggunakan teknologi modern dapat menghancurkan seluruh peradaban”. Menyadari hal ini maka sungguh tepat apabila kita menggali kembali nilai-nilai yang tersirat dalam Bhagavadgita.

Anand Krishna dalam buku ini mengajak kita untuk sungguh-sungguh memahami falsafah dasar seni perang Sun Tzu ( Sun Tzu’s ”The Essensials of War” ) benar-benar sebagai sebuah falsafah seni perang yang tentunya diperuntukkan bagi insan militer dijamannya dan tidak sesuai jika diimplementasikan atau dikaitkan dengan managemen perusahaan masa kini. Dalam kata lain falsafah tersebut berisi tentang semangat berperang bukan Seni berbisnis. Adalah kecelakaan bagi umat manusia, bagi manusia modern bagi orang Indonesia yang belakangan ini lebih menggemari kebijakan Sun Tzu dalam hal bermanajemen, daripada mencari referensi dari khasanah budaya sendiri. karena sesungguhnya nilai-nilai luhur ini muncul dari kematangan jiwa suatu masyarakat dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya.

Tentu adalah sebuah kemerosotan dari kebijaksanaan klasik dan kita perlu naik kembali ke ketinggian kebijaksanaan Sri Krishna. Sri Krishna dan Bhagavad Gita berasal dari budaya kita sendiri dari budaya Nusantara yang menjadi bagian dari peradaban Sindhu. Peradaban ini oleh para sejarawan Arab disebut Hindu, oleh Barat disebut Indo, Indies, Hindia, India, Indonesia, dan sebagainya. Dalam buku ini penulis tidak sedang berbicara tentang apa yang sekarang disebut “Agama Hindu” tetapi sedang berbicara tentang Budaya Indo, tentang nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kearifan lokal kita yang kita warisi di kepulauan Nusantara ini.

Satu hal yang sangat ditekankan oleh penulis dengan keadaan bangsa kita saat ini, kita menjadi besar bukan karena Sun Tzu. Kita menjadi besar karena nilai-nilai luhur kebudayaan kita, kearifan lokal kita. Lontar-lontar yang masih tersisa adalah bukti nyata akan kemegahan dan kebesaran kita di masa silam. Bukan saja kemegahan dan kebesaran materi tetapi juga rohani. Nilai-nilai yang telah menjadi fondasi bagi bangsa dan negara kita tercinta. Nilai-nilai yang tidak bisa tidak mengantar kita pada puncak kemegahan baru di masa mendatang. Jika kita belajar untuk memberi tanpa mengharapkan imbalan, persis seperti yang dilakukan oleh alam, kita manjadi alami. Pengalaman kita menjadi sangat mirip dengan apa yang dialami oleh alam. Dan saat bersinergi itu, terjadilah ledakan dhasyat. Kita tercerahkan!

Saat itu kita menemukan jati diri kita bahwa keberadaan kita disini untuk menikmati, untuk merayakan, untuk menggunakan dan meneruskannya kepada orang lain bukan untuk memiliki. Alam terlalu besar dan terlalu halus untuk dimiliki. Bhagavad Gita tidak setuju dengan monopoli atau kepemilikan tunggal. Ia berpihak pada kolaborasi, kerjasama, atau yang disebut gotong royong oleh para foundhing fathers kita. Kolaborasi itu tidak diatur atas landasan yang kuat menentukan syarat tetapi atas landasan kesetaraan yang bersifat spiritual bukan materiil. Kesetaraan yang tidak tergantung pada pemicu-pemicu diluar diri tetapi pada kesadaran rohani di dalam diri.

Managemen Krishna mengajak kita untuk mengendalikan diri kita. Kata kunci adalah pengendalian diri. Hanya dengan pengendalian diri kita dapat menyelamatkan sumber alam kita, lingkungan kita, flora dan fauna kita, keindahan bumi kita hanya dengan pengendalian diri kita dapat menjamin keselamatan kita sebagai penghuni bumi ini. Selama ini kita menjarah bumi. Kita mengeksploitasi dan memperkosanya demi keuntungan materi. Bukti nyata akan keteledoran sekaligus ketololan kita adalah ketidak pedulian kita terhadap peningkatan panas bumj yang dapat mengantar kita kembali ke zaman es hanyalah pengendalian diri yang dapat menyelamatkan dunia kita. Tanpa pengendalian diri dunia ini akan hancur, tenggelam binasa lenyap.

Dalam buku ini Anand Krishna menunjukkan kekuatan management ala Sri Krishna adalah berkarya tanpa pamrih. Berkarya dengan semangat menyembah. Bukan ora et labora berdoa sambil berkarya atau berkarya sambil berdoa malainkan berkaryalah dengan semangat menyembah. Saat kita melakukan sesuatu dengan semangat menyembah hasilnya adalah kepuasan diri. Kita tidak merasa jenuh menjalani tugas kita, hidup kita. Seisi alam ini bekerja tanpa pamrih dan mereka semua puas. Mereka semua bersukacita. Membersihkan, menyejukkan, dan membasahi dan melarutkan menghanyutkan itulah tugas Air. Sudah jutaan tahun ia melakukan itu dan dia tak pernah mengeluh. Belajarlah dari mereka! Berkarya dengan semangat menyembah berarti ibadah. Inilah pemahaman Gita tentang ibadah. Krishna tidak menyuruh Arjuna untuk menutup diri dalam kamar. Ia juga tidak menyuruhnya untuk beribadah ramai-ramai di suatu tempat. Medan perang ini, panggung kehidupan ini adalah tempat ibadah. Berkarya diatas panggung inilah ibadah yang sebenarnya, berkaryalah tanpa pamrih. Pemahaman Krishna tentang doa, ibadah, semangat di baliknya dan cara pelaksanaannya memang unik. Dan kita sebagai pewaris budaya Nusantara telah mewarisi nilai-nilai ini dalam DNA kita. Bukan mustahil satu-satunya solusi yang ditawarkan dalam menghadapi globalisasi adalah dengan mengangkat kembali nilai-nilai luhur nusantara.

Glokalisasi adalah jawabannya, yang menurut penulis telah terjadi sejak jaman Sriwijaya. Seperti yang terjadi dalam kisah Mahabarata tidak terdapat cerita tentang Dewa Ruci. Itu adalah kearifan lokal kita. Jika dulu kalangan management banyak mengutip karya klasik China abad 6 SM The art of War, sekarang karya kuno dari Timur yang trendi adalah Bhagavadgita on Effective Leadership. Dari kompetisi ala Sun Tzu menjadi kolaborasi ala Krishna. Strategi bekerjasama atau gotong-royong ini akan membawa dampak yang baik pula bagi industri yang environment friendly seperti yang dikampanyekan Al gore.

Dalam buku inipun dirumuskan ciri-ciri seorang pemimpin versi gita dalam tiga butir atau Trisila kepemimpinan yaitu Sane Leadership, Effective and Efficient, Friendly Attitude. Dikemas dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, Anand Krishna meramunya untuk anda para eksekutif muda berwawasan modern, dan para pemimpin bangsa. Dalam sejarah bangsa, kita dapat menemukan sosok versi Gita ini dalam diri Bung Karno. Ia tidak membangun Indonesia untuk menjadi negeri tertutup seperti Cina di masalalu, tetapi negeri yang terbuka. Terbuka bagi kemajuan bagi perkembangan dan perubahan. Pancasila yang digalinya dari budaya asal Nusantarapun tidak memisahkan kita dari dunia malah mengangkat manusia Indonesia menjadi Warga Dunia. Perjuangan Bung Karno bagi Nusa dan Bangsa bagi Indonesia harus dilihat sebagai karya besarnya bagi dunia. Inilah ciri khas seorang pemimpin versi Gita. Ia bukanlah seorang pemimpin regional dengan agenda-agenda kecil dan sempit. Seorang pemimpin versi Gita akan mempersatukan dan bersifat universal.

Siapkah kita menjadi pemimpin bagi diri kita dan bagi masyarakat dunia? Siapkah kita untuk memasuki era baru dengan wawasan lebih luas lagi? Dikemas dengan gaya bahasa yang menarik, mudah dipahami dan berisi ulasan-ulasan yang sesuai dengan konteks masa kini, Anand Krishna menyajikanya untuk kita semua dan terutama bagi eksekutif muda berwawasan modern yang ingin menggali kembali dan membangkitkan kekayaan budaya Nusantara.

Princess

Judul : Princess
Kisah Tragis Putri Arab Saudi
Pengarang : Jean P. Sasson
Tebal : 380 halaman
Penarbit : Ramala Books


Sebuah buku yang diangkat dari kisah nyata sebuah pengalaman hidup seorang putri Saudi yang sangat dekat hubungannya dengan Raja. Berisi tentang kebulatan tekad dan keceriaan putri Saudi untuk mengubah kehidupan perempuan di Arab Saudi. Buku ini ditulis dengan sangat apik oleh Jean P. Sasson atas permintaan sang putri sendiri. Walaupun menurut penulis saat pertama kali bertemu dengan sang putri diawal tahun 1983, ia berpendapat bahwa menjadi seperti dia adalah mimpi semua perempuan. Bukan hanya cantik, Sultana juga sangat menyenangkan dan cerdas, memiliki semangat kemandirian yang jarang ditemui oleh penulis pada perempuan Saudi lain. Meskipun demikian kehidupan yang kontradiktif ia jalani sepanjang hidupnya. Dikelilingi dengan perhiasan-perhiasan dan dayang-dayang import, namun tidak memiliki kebebasan sama sekali. Bagaikan seorang tawanan dalam sangkar emas begitulah kehidupan perempuan Arab Saudi tanpa hak suara sama sekali dan tanpa kuasa untuk mengendalikan hidupnya sendiri. Takdirnya benar-benar bergantung dengan belas kasihan laki-laki dalam keuarganya yaitu ayah, saudara laki-lakinya dan suaminya.

Untuk pertama kalinya perempuan Arab Saudi membeberkan kisah nyata yang ada dalam sebuah masyarakat yang tertutup. ”Putri Sultana” membuka tabir yang sangat mengejutkan tentang kehidupan perempuan Saudi. Begitu banyak cerita tragis seputar perempuan Arab Saudi yang diungkapnya. Cerita tentang kehidupannya dan kehidupan perempuan yang banyak dikenalnya. Cerita tentang kawin paksa, perbudakan sex, dan kebiadaban laki-laki terhadap kaum hawa. Inilah sebuah kisah nyata yang tak akan anda lupakan. Dengan membaca buku ini, anda dengan sangat mudah memahami budaya yang mendasari perilaku sebuah masyarakat gurun pasir.

Kebanyakan keluarga-keluarga Arab Saudi berasal dari kelas bawah. Banyak dari mereka sangat kasar dan memiliki tatakrama yang buruk. Perilaku mereka membuktikan asumsi tersebut dan kebanyakan mereka mendadak kaya tanpa usaha keras karena kekayaan minyak bumi yang berlimpah. Dikatakan pula dalam buku ini bahwa kebanyakan pendidikan mereka hanya dari membaca kitab suci yang dikarenakan kebodohan maka maknanya diputarbalikkan sesuai dengan keinginan mereka.

Bagi kepala rumah tangga, status subordinat perempuan yang diindikasikan dalam kitab suci dipahami sebagai budak atau kadim. Dan perempuan lain yang bukan muslim dianggap sebagai pelacur. Hal ini dapat dilihat dengan sedemikian gencarnya kaum laki-laki Saudi bepergian ke negara-negara Asia untuk berlibur menikmati sex. Mengetahui bahwa beberapa perempuan Timur dijual, mereka menjadi yakin bahwa semua perempuan yang bukan muslim adalah untuk dibeli. Ketika seorang pelayan disewa, itu mereka anggap bisa dimanfaatkan seperti seekor binatang, menurut laki-laki di rumah itu.

Dengan membaca buku ini segala kejadian yang terjadi dengan para tenaga kerja wanita yang gencar kita kirim akan kita pahami sebagai sebuah kesalahan negara kita mencari jalan instant, tanpa memahami culture budaya mereka. Kemudian resiko yang ditanggungpun sangat besar. Dan apabila terjadi masalah dengan tenaga kerja yang mereka kirim melalui badan-badan pengirim tenaga kerja atau agent-agent pengirim, maka pemerintah pengirim tenaga kerja tidak mau menentang pemerintahan Arab Saudi dengan mengajukan keluhan formal. Dengan alasan bahwa negara pengexpor tenaga kerja wanita tersebut bergantung kepada devisa atau uang yang dikirim dari para pekerja di luar negeri. Hal ini sungguh mengerikan dan sangat tidak manusiawi mengingat begitu banyak korban yang berjatuhan setiap tahunnya.

Di Arab Saudi seperti banyak di dunia Arab, persoalan sex sangat tabu. Akibatnya perempuan malah selalu membicarakannya. Diskusi-diskusi berkenaan dengan sex, laki-laki dan anak-anak menyeruak dalam semua perkumpulan para perempuan. Kebanyakan para perempuan Saudi mengalami khitan saat mulai akhil balik. Sesuatu yang tidak dapat dibayangkan setiap perempuan yang mengalami trauma saat dikhitan dan saat itu pulalah perempuan Saudi tidak akan pernah mengalami orgasme dalam berhubungan sex seumur hidupnya. Justru dampak dari ritual khitan tersebut akan dimulai saat malam pertama hingga pengalaman sakit yang tak tertahankan setiap kali berhubungan sex akan selalu mereka alami.

Dalam buku ini pula diceritakan bahwa kebanyakan perempuan Saudi menyakini hal tersebut adalah kehendak dari Tuhan. Dan sebagian keluarga masih meneruskan praktik itu dan dilakukan oleh setiap orang yang dirinya sendiri menderita oleh pisau barbarisme itu. Dalam kebingungan mereka di masa lalu dan sekarang mereka tanpa sadar mendukung usaha laki-laki memenjara kaum perempuan dalam ketidaktahuan dan pengasingan. Sementara saat ini yang lain menganggapnya sebagai masa lalu yang barbar. Perempuan Arab Saudi hanya bisa mendapatkan kebahagiaan hanya jika laki-laki yang berkuasa memiliki kepedulian. Bila tidak duka-cita akan mengelilingi mereka. Tak peduli apapun yang mereka lakukan, masa depan mereka berhubungan dengan tingkat kebaikan hati dari laki-laki yang menguasai mereka. Tentu kita semua akan bertanya bagaimana kekejaman seperti itu bisa terus terjadi di negara kaya minyak dimana setiap warga negara menjadi terpelajar dan tercerahkan. Dalam buku ini putri Sultana mengatakan bahwa sebagian besar laki-laki di negaranya ingin mengatur semua orang disekeliling mereka. Dan tindakan-tindakan seperti ini didukung oleh orang yang dengan sengaja membelokkan kata-kata Nabi tercinta Nabi Muhammad untuk satu-satunya tujuan, membuat perempuan tetap tak berdaya dan patuh.

Buku ini menyentuh perempuan dari segala umur dan bangsa dan mencapai penjualan terbaik di banyak negara. Banyak guru di berbagai negara menjadikan buku ini sebagai karya yang harus dibaca untuk literatur kelas mereka. Dan buku ini juga sebagai salah satu acuan untuk studi perempuan. Tapi bukan sekedar itu saja maksud dari diterbitkannya buku ini. Karena Putri Sultana mengharapkan bahwa tidak akan terjadi lagi pembelengguan terhadap perempuan oleh kaum laki-laki manapun di negerinya. Saat terjadi perang teluk untuk membebaskan Kuwait, merupakan momentum perang yang sangat tajam antara laki-laki dan perempuan di Arab. Apabila perempuan melihat harapan bagi perubahan sosial, maka laki-laki merasakan bahaya perubahan masyarakat yang sedikit berbeda dari dua abad lalu. Para suami, ayah dan anak laki-laki tidak mau menentang kekuatan agama radikal yang menekan hak-hak perempuan.

Di tahun 1992 Sultana dan para perempuan Saudi lainnya telah dipaksa mundur kembali ke barak masa lampau. Kebebasan mengendarai mobil, melepaskan cadar, atau mengadakan perjalanan tanpa izin suami/bapak adalah impian-impian yang hilang di tengah-tengah perhatian yang lebih tertuju pada kekuatan yang mengancam jiwa yakni ancaman yang semakin besar dari ekstrimis agama diwilayah itu. Bagi Sultana semangat perlawanannya masih berkobar hingga kini sebagaimana ditujukan dalam seluruh halaman buku ini. Namun pemberontakannya harus tetap dirahasiakan karena meski ia berani menjalani semua cobaan hidup ia tidak tahan jika harus kehilangan anak-anaknya. Kegetirannya juga meluas manakala menatap masa depan buah hatinya. Dia tidak ingin pengalaman-pengalaman tersebut dialami oleh anak-anaknya dan setiap perempuan dimanapun. Menurut Sultana bagi para laki-laki Arab, perempuan ada hanya sebagai objek kenikmatan atau sarana melahirkan anak.

Dilihat dari apa yang diperjuangkan oleh RA.Kartini puluhan tahun silam ada persamaan perjuangan Sultana yang memiliki esensi yang matang bagi kaumnya. Bukan saja persamaan hak melainkan juga melihat perempuan sebagai kekuatan yang memiliki martabat bukan saja sebuah benda yang dapat diperdagangkan. Bila mengingat kembali apa yang dilakukan oleh Bung Karno saat menarik tangan Ibu Inggid untuk bergegas meninggalkan pertemuan di sebuah masjid di Sumatra karena Bung Karno tidak jadi menyampaikan pidatonya, karena saat itu para peserta telah dibatasi sebuah tali pembatas antara perempuan dan laki-laki yang menurut Bung Karno sangat tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi Perempuan sebagai kekuatan atau Shakti ( Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adam ). Sejak dahulu pun kita mengenal pepatah bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Maka ungkapan inipun lahir dari budaya yang luhur yang menghormati kaum perempuannya.

Budaya Nusantara menempatkan perempuan setara dan bahkan lebih tinggi dari pada kaum laki-laki. Dalam banyak hal perempuan lebih unggul daripada kaum laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari peningalan-peninggalan masa lalu yang menempatkan perempuan sebagai shakti atau energi itu sendiri. Budaya Nusantara, sesungguhnya tidak pernah menempatkan posisi perempuan “di bawah” kaum laki-laki. Itu sebabnya kaum perempuan disebut Shakti, energi untuk menjadi manusia ilahi ( Anand Krishna ). Bagi leluhur kita yang menjunjung tinggi kekuatan wanita yang memiliki kelembutan, empaty serta intuisi yang tajam yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.

Peradaban Nusantara menempatkan perempuan begitu tinggi. Dalam budaya Nusantara perempuan bukanlah warga negara kelas dua justru perempuanlah ujung tombak bagi kebangkitan dan perubahan suatu bangsa. Lewat wanitalah anak-anak bangsa generasi penerus tercipta. Lewat perempuan yang berwawasan luas maka akan menularkan energy ini kepada anak-anaknya. Maka segala hal yang mengarah pada kehancuran martabat perempuan sangat bertentangan dengan semangat luhur dari peradaban Nusantara. Bangkitlah perempuan Indonesia, bangkit dengan kesadaran luhur bagi Ibu Pertiwi tercinta.

Tertawa Itu Sehat! (30 Mei 2005)

Koran Tokoh, Denpasar
--------------------------------------
Tertawa Itu Sehat Terbahak 20 Detik = Jogging 3 Menit
MINGGU pagi, pukul 07.15. Tepat di depan pelataran Monumen Bajra Sandhi Renon
Denpasar, sekelompok orang tampak asyik tertawa. Tak jauh dari mereka, sebuah
karton berukuran tanggung bertuliskan, “Klub Ketawa. Silakan gabung, Pendaftaran
gratis.” Tak jelas apa yang ditertawakan, mereka terus saja terbahak-bahak.

“Bah…neh mara ye..onyangan suba buduh,” ujar seorang pemuda yang tengah
berolahraga kepada temannya. Tak urung, tulisan itu mengundang orang melirik ke
kumpulan orang yang sedang terpingkal-pingkal tadi. Komentar orang yang lewat
hampir sama; mereka gila. Begitu melihat karton, mereka langsung tersenyum.
Sebagian lagi memiringkan jari telunjuk di kening, tanda tak waras. Hanya
sedikit yang mampir lalu bergabung. Penasaran, Tokoh mendekati mereka. Tak
berselang lama, Tokoh disodori kertas dengan judul besar-besar: “Klub Ketawa.
Mari bergabung bersama kami.” Ajakan dari Anand Krishna Centre Denpasar.

“Semua orang perlu tertawa,” ujar Putu Sripuji Astuti yang biasa dipanggil
Chicha. Hidup dalam berbagai masalah sering membuat orang stres. Dengan mengajak
orang tertawa, Anand Krishna Centre berharap bisa melatih orang agar tak stres.
Makanya, sejak 27 Maret mereka membuat Klub Ketawa dan berlatih di tempat
terbuka agar diketahui publik. “Kami mengadakan di tempat yang sama. Jika orang
melihat terus menerus, lama-lama mereka pasti tertarik. Nggak masalah dibilang
gila dulu,” jelas Chicha.

Sepanjang satu jam di lapangan, mereka hanya tertawa. Tak masalah jika awalnya
terkesan dibuat-buat. “Setelah 15 menit, biasanya bisa ketawa beneran,” kata
wanita kelahiran Yogyakarta, 8 Maret 1976 itu. Lebih kurang 30 menit kemudian,
mereka akan menertawakan diri sendiri. “Saat itu kami sadar, begitu banyak
kebodohan yang kita buat sampai-sampai kita tak bisa tertawa. Bagus untuk
instrospeksi diri,” sambungnya.

Chicha tak salah berkata seperti itu. Pasalnya, banyak manfaat jika kita rajin
tertawa. Makin dewasa, orang makin perlu tertawa. Sayangnya, menurut pakar
tertawa dari Universitas Berlin, Prof. Gunther Sickl, orang dewasa makin lama
makin sedikit tertawa. Jika saat kanak-kanak bisa tertawa 400 kali sehari, orang
dewasa hanya tertawa 15 kali. Padahal, begitu banyak manfaat tertawa untuk orang
dewasa.

Beberapa penelitian ilmiah membuktikan manfaat tertawa. Peneliti dari University
of Maryland Medical Center di Baltimore mengungkapkan, orang-orang yang
berpenyakit jantung umumnya kurang tertawa dan tak menyukai humor dibandingkan
orang yang berjantung sehat. Ada pula penelitian yang dilakukan Loma Linda
University, California. Dr. Lee Berk mengukur efek tertawa terhadap kekebalan
tubuh. Ia membagi subjek menjadi dua kelompok: satu kelompok diberi tontonan
komedi yang mereka pilih sendiri, kelompok lainnya duduk tenang dalam sebuah
ruangan. Tiap orang dalam kelompok dihubungkan dengan alat monitor. Selama
pertunjukan dan setengah jam sesudahnya, contoh darah responden diambil tiap 10
menit.

Hasilnya, kelompok yang duduk tenang tak mengalami perubahan fisiologi.
Sebaliknya, kelompok yang menonton film komedi mengalami peningkatan di beberapa
ukuran fungsi imunitas: aktivitas sel T (penting untuk melawan infeksi),
pembunuh sel natural (yang berfungsi melawan tumor), antibodi imunoglobin A
(yang menjaga saluran pernapasan) dan interferon gamma (kunci dalam sistem
kekebalan tubuh).

Penelitian lain dilakukan psikiatris Arthur Stone dari State University of New
York di Stony Brook Medical School. Selama tiga bulan ia melibatkan 96 pria
untuk mengukur tingkat antibodi yang disinyalir sebagai benteng pertahanan
pertama terhadap virus demam dan flu. Tiap hari, kelompok itu diperiksa grafik
emosinya. Hasilnya, interaksi positif seperti menghibur teman atau bermain
bersama anak-anak berdampak pada peningkatan antibodi pria yang diteliti.
Berbeda jika saat dikritik di kantor atau sedang berdebat.

Tertawa rupanya menyebabkan tubuh berolahraga kardio yang membuat sistem
pernapasan bekerja lebih baik. Tertawa memunculkan pola napas yang khas yang
dapat menurunkan zat residu pernapasan yang tersisa di paru-paru dan
menggantikannya dengan udara yang kaya oksigen. Manfaatnya, tentu saja, dapat
menurunkan tingkat uap air dan karbondioksida dalam paru-paru yang secara tak
langsung mengurangi risiko infeksi paru-paru.

Tertawa terbahak-bahak selama satu menit sama dengan 45 menit olahraga yang
mengeluarkan keringat. Bahkan, tertawa selama 20 detik efeknya sama seperti tiga
menit mendayung atau jogging pada kerja jantung. Sekitar 80 otot digunakan
ketika kita tertawa sempurna sampai terpingkal-pingkal. Getaran yang dihasilkan
membuat jantung berdegub lebih kencang, tekanan darah naik dan tingkat oksigen
dalam darah yang dihasilkan naik bersamaan dengan akselerasi pernapasan.
Bagusnya, endorphin sebagai “obat penenang alami” yang diproduksi otak akan
melahirkan rasa nyaman. Usai tertawa, tekanan darah normal kembali, hormon stres
berkurang dan kekebalan tubuh meningkat.

Tertawa “dipaksa” atau tidak, efeknya tetap sama. “Pertama kali, kami memang
sengaja tertawa, tapi nantinya menghasilkan efek domino kok,” ujar Chicha. Di
luar negeri, saat ini klub tertawa sudah menjamur. Di Amerika Serikat dan
Kanada, sedikitnya ada 300-an klub tertawa. “Melalui klub tertawa ini Anand
Ashram hendak mengenalkan meditasi tertawa pada masyarakat,” sambungnya. Hidup
yang serba penuh tekanan ini mungkin bisa berkurang dengan banyak tertawa. – rat

Mencapai Keilahian dalam Diri (6 agustus 2007)

putu
06-08-2007, 02:42 AM
Mencapai Keilahian dalam Diri
Suara Kebangkitan Voice of Vivekananda
Judul : ananda
Pengarang : Swami Vivekananda
Tebal : 181 + xxvii
Penerbit : PT One Earth Media
Tahun : 2005

---------

BELAJAR DARI SVAMI VIVEKANANDA BAGAIMANA MENJADI HINDU

''SEJARAH dunia adalah sejarah dari segelintir orang yang memiliki keyakinan pada diri mereka sendiri. Keyakinan itulah yang memunculkan kesucian dari dalam diri. Kau dapat melakukan apa saja, kau hanya akan gagal bila tidak cukup berjuang untuk mewujudkan kekuatanmu yang tak terbatas. Dan seketika seseorang atau sebuah negara kehilangan keyakinan dirinya, kematian pun segera datang. Terlebih dulu, percayalah pada diri sendiri, setelah itu baru mempercayai Tuhan''.

Itulah sebagian kecil kalimat-kalimat yang lahir dari seorang spiritualis, Swami Vivekananda. Negarawan sekaliber Bung Karno pun menyebut nama Swami Vivekananda dengan penuh kekaguman. Dialah sang pelopor yang telah menyalakan api keberanian dalam diri banyak orang. Ia yang mengajarkan pada para agamawan untuk melupakan surga dan menemukan Tuhan dalam diri orang-orang yang tertindas.

Kebangkitan sebuah bangsa selalu ditandai dengan menularnya "semangat zaman" dari segelintir pemimpin yang pemberani kepada masyarakat secara kolektif. Itu pula yang terjadi pada dua bangsa yang memiliki akar budaya yang serupa, India dan Indonesia, di awal abad ke-20. India memiliki pemimpin-pemimpin yang berani seperti Nehru dan Gandhi, sementara Indonesia memiliki seorang Soekarno, Hatta, Syahrir, hingga Jendral Sudirman. Mereka mampu mengakhiri cengkraman kolonialisme selama berabad-abad dan mengatakan bangsanya menuju pintu gerbang kemerdekaan dengan gemilang.

Ancaman kapitalisme global dan fundamentalisme agama memaksa kita untuk menengok kembali nasionalisme kita. Menurut Soekarno, manifestasi nasionalisme Indonesia adalah sosialisme Pancasila dengan unsur spiritual yang menjadi ciri pembeda dengan konsep sosialisme lainnya. Tampaknya dari Vivekanandalah proses kontemplasi politik Soekarno terbantu sehingga menghasilkan doktrin budaya Trisakti -- berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Tujuan hidup adalah untuk mewujudkan keilahian di dalam diri dengan jalan mengkontrol sifat-sifat alami di luar dan di dalam diri. Inilah sejatinya agama, segala doktrin segala dogma atau ritual, atau kitab suci tempat ibadah atau bentuk lainnya hanyalah hal-hal lebih rinci yang sifatnya sekunder, karena tujuan utama setiap manusia adalah bersatu dalam Tuhan. Swami Vivekananda sesungguhnya adalah seorang yogi yang melihat dirinya sendiri sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh alam semesta di dalam dirinya. Baginya, "Perluasan adalah kehidupan, pengerutan berarti kematian. cinta kasih adalah hidup dan kebencian adalah mati".
Presiden Soekarno pernah menyatakan perihal "dunia baru" -- di situ akan ada kehidupan yang harmonis dan manusia dengan sesamanya akan hidup dalam semangat kreatif yang sejati. Sementara Vivekananda berkata, "Perlihatkanlah sifat keilahian dalam dirimu dan segala sesuatunya akan berjalan dengan harmonis."

Dalam buku inipun dijelaskan secara gamblang mengenai cara-cara pencapaian keilahian itu. Tidak lain dengan jalan bekerja tanpa pamrih atau disebut karma yoga rahasia atau ilmu tentang bekerja. Sehingga, di situ orang dapat mempelajari bagaimana memanfaatkan semua pekerjaan dengan sebaik-baiknya karena bekerja adalah sebuah keniscayaan dan kita semua harus bekerja tanpa keterikatan. Karena, dasar dari yoga sendiri adalah ketidakterikatan.

"Bangunlah, beranilah dan kuatlah! Pikul semua tanggung jawab di atas pundakmu sendiri dan ketahuilah bahwa kau adalah pencipta nasibmu sendiri. Segala kekuatan dan bantuan yang kau perlukan ada di dalammu. Maka itu ciptakan hari depanmu!" suara Vivekananda sangat jelas bahwa segala sesuatu dalam hidup ini diri kita sendirilah yang menentukan.

Swami Vivekananda adalah salah seorang dari mereka yang memberikan banyak inspirasi kepada Bung Karno. Inspirasi untuk menjadi kuat, inspirasi untuk menjadi hamba Allah, inspirasi untuk menjadi pengabdi tanah air, inspirasi untuk menjadi pengabdi kaum miskin, dan inspirasi untuk menjadi pengabdi umat manusia. Dia pula yang dulu pernah berkata, "Telah cukup lama kita menangis, jangan menangis lagi, tetapi berdirilah dengan tegak dan menjadi manusia sejati! Ajarkan pada dirimu sendiri, ajarkan pada setiap orang tentang sifat-sifatnya yang sejati, bangkitkan jiwa yang tidur dan saksikan bagaimana ia bangkit. Kekuatan akan datang, kemenangan akan datang kesucian akan datang dan segala sesuatu yang indah akan datang ketika jiwa yang tertidur ini bangkit menjadi jiwa yang sadar akan aktivitasnya."

Indonesia adalah warisan leluhur, Bali adalah pewarih budaya luhur yang masih tersisa, yang niscaya akan membawa kebangkitan bagi bangsa Indonesia. Tapi jika ia terjebak dalam konflik politik dan social, ia bisa mati.

Buku-buku koleksi kesayangan Bung Karno sengaja diterbitkan ulang sebagai sebuah upaya untuk menemukan kembali spirit atau semangat bagi kebangkitan kembali Indonesia yang dulu pernah menginspirasikan para pemimpin bangsa kita. Semangat yang benih-benihnya telah ditanamkan oleh Bapak Bangsa kita itu semasa hidupnya yang penuh pengabdian. Pengabdian tanpa akhir...



* putu sripuji astuti w.,
National Integration Movement

Indonesia Under Attack! Membangkitkan kembali Jatidiri Bangsa (April 2008)

Indonesia Under Attack!
Membangkitkan kembali Jatidiri Bangsa


Judul : Indonesia Under Attack!
Membangkitkan kembali Jati diri Bangsa
Pengarang : Anand Krishna, plus dialog bersama Rusdy Ambo Dale &
Siswono Yudo Husodo
Tebal : 250 halaman + xxvi
Penerbit : PT One Earth Media

Pancasila adalah dasar yang kukuh dan universal, tidak saja bagi persatuan dan kesatuan bangsa tetapi juga bagi persatuan umat manusia. Tak usah heran jika Bung Karno dengan bangga mengusulkan di depan Sidang Majelis Umum PBB 30 September 1960 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dari Piagam PBB dalam pidatonya yang berjudul To Build The World A New. Apa yang membuat Pancasila sedemikian Universal? Tak lain adalah Cinta Kasih. Para pendiri bangsa kita adalah orang-orang yang tercerahkan. Para spiritualis yang tak lagi terkotak-kotak oleh perbedaan wujud. Mereka mengakui adanya perbedaan, tapi mereka dengan jelas mampu melihat persatuan di baliknya. Lebih jelas lagi mereka mampu memberikan solusinya bagi bangsa ini. Mereka sadar bahwa Indonesia yang kokoh harus dibangun di atas spiritualitas universal. Diatas Cinta Kasih.

Cinta kasih adalah dasar bagi Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial yang kesemuanya terdapat dalam Pancasila. Hanya dengan terlebih dahulu memiliki Kasih, manusia-manusia Indonesia dapat bangkit dan mencapai kejayaan. Buku ini akan membuat anda sadar bahwa spiritualitas bukanlah hal yang mengawang-awang. Bahwa negeri inipun dibangun di atas dasar spiritualitas!

Semangat kebangsaan lahir karena cinta kita terhadap Ibu Pertiwi. Cinta, kasih yang tak berpamrih, inilah perekat kita sebagai bangsa. Kelak cinta ini akan menghantarkan kita semua kepada cinta terhadap Bumi ini terhadap bangsa-bangsa dan Negara-negara yang ada di bumi ini. Terhadap kehidupan di manapun ia berada. Seperti apakah itu cinta, kasih yang ada dalam buku ini, apakah sama dengan definisi cinta, kasih kita selama ini? Benarkah dapat mengatasi persoalan bangsa ini secara instant? Bagaimana aplikasinya dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagaimana pula agar dapat dimengerti oleh semua orang dari wong cilik sampai wong besar? Temui semua jawabannya dalam buku ini dan diatas segalanya. Buku ini ditujukan kepada mereka yang cinta Indonesia dan bangga akan “Keindonesiaannya”, kepada mereka yang menerima Pancasila sebagai saripati budaya, sebagai akar, jati diri bangsa dan landasan satu-satunya untuk berbangsa dan bernegara.

Untuk menguasai satu bangsa, yang paling penting adalah harus mencabut akarnya. Upaya pencabutan akar ini terkadang dilakukan secara terang-terangan, terbuka. Kadang dilakukan secara diam-diam, tersembunyi. Upaya ini oleh para founding fathers Republik kita Roeslan Abdulgani disebut sebagai “Imperialisme Budaya”. Imperialisme di bidang Ekonomi bahkan sipil dan militer menjadi sangat mudah untuk di deteksi, bila dibandingkan dengan imperialisme yang terjadi di bidang budaya. Ini yang harus kita waspadai, karena sesungguhnya jati diri dan karakter building ini terbangun melalui landasan budaya. Tidak bisa tidak karena budaya memegang peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi. Apabila akar ini tercabut, tinggal tunggu waktu untuk melihat kepunahan suatu peradaban.

Sudah barang tentu negara yang kacau akan dengan sangat mudah dijajah. Itulah yang diinginkan oleh Negara-negara lain yang ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Penjajahan yang dilakukan sekarang bukanlah penjajahan seperti tempo dulu, melainkan penjajahan budaya terlebih dahulu yang akan membuat kita terpisah dari akar budaya kita dan kehilangan jati diri kita, dan kemudian penjajahan ekonomipun terjadi. Dan bagaimana kita akan mengatakan bahwa ekonomilah akar permasalahan kita, Apabila mental masyarakat kita tidak terbenahi oleh pendidikan yang bewawasan budaya? Sangat mustahil membangun kesejahteraan ekonomi di atas landasan ekonomi yang dikuasai oleh Negara-negara lain. Saat inipun kita sudah menyerah di bidang perhubungan dan perbankan kepada Singapura, menyerah di bidang pertambangan dan perminyakan kepada Amerika dan sekutunya. Sekarang kita akan menyerahkan seluruh sisa hasil bumi yang kita miliki kepada para pedagang dari Timur Tengah. Inikah yang kita mau? Menjadi budak di Bumi Pertiwi ini? Dan tidak lagi memiliki kebebasan mengelola tanah air kita sendiri? Inikah yang disebut mandiri dibidang ekonomi, berdikari dibidang politik dan berkepribadian di bidang sosial?

Saat ini mau-tidak mau kita harus segera membangkitkan Nasionalisme ini di setiap kalangan masyarakat. Melalui pendidikan sejarah, melalui film-film dan lain-lain. Ideology Nasional menjadi penuh makna dan kedalaman, bukan sekedar tanggal dan peristiwa. Tidak dengan indoktrinasi, tetapi memunculkan rasa dengan melibatkan emosi mereka, sehingga muncul rasa kebangsaan yang membuat kita rela untuk berkorban bagi negeri ini dengan paham kebangsaan yang merupakan rumusan-rumusan untuk memandu negeri ini kearah ketahanan budaya yang kokoh.

Kecintaan ini yang harus tumbuh menjadi sikap patriotic, yaitu kesediaan untuk berkorban dan berkemampuan untuk membangun tanah air. Cintapun akan diikuti dengan kemampuan untuk berbuat sesuatu. Karena saat ini banyak orang berkemampuan tinggi tetapi tidak memiliki kecintaan kepada tanah air, sehingga segala kebijakkannya tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat, melainkan hanya kepada kepentingan kelompoknya., akhirnya hanya memeras Negara ini, menghabiskan hutan, tambang dan sebagainya. Tetapi rakyat yang Nasionalis akan belajar menghemat energi. Pemimpin dan pemerintahan yang Nasionalis akan memikirkan penghematan, bukan menghamburkan dan mengeksploitasi sisa sumber daya alam yang kita miliki, dan akan mengembangkan system transformasi massal yang memadai, sehingga akan menghemat energi. Tidak menggadaikan kekayaan alam kepada pihak-pihak lain, melainkan bekerjasama dalam kesetaraan.

Marilah kita seluruh bangsa berdasarkan kapasitas dan kompetensi kita masing-masing membangun negeri ini. Pembangunan negeri ini adalah sebuah proses yang tanpa akhir. Masalah kita adalah bahwa kita masih berhadapan dengan orang-orang yang “tidak menyadari” dan “tidak mau tahu” walaupun sangat cerdas, dan memiliki begitu banyak potensi. Terkadang kita terjebak dengan kecerdasan kita dan praktek implementasi dilapangan bertentangan dengan jiwa Nasionalis dan Pancasila yang sesungguhnya.

Ini menjadi tantangan kita semua untuk mengupayakannya untuk bekerja ke arah itu. Bila jiwa kita belum bebas dan masih diperbudak oleh doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang telah usang, dan kita hidup dalam kecemasan dan ketakutan, bahkan setiap saat terjadi bunuh diri, maka hal itu menunjukkan kegagalan pemerintah, kegagalan pemimpin kita bersikap dan bertindak adil terhadap setiap warga Negara. Dan hal itu menunjukkan kegagalan kita sebagai rakyat Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kita semua telah gagal mengisi kemerdekaan kita dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Sebagai rakyat kita gagal menciptakan pemimpin yang bijak, berwawasan luas dan tidak hanya mementingkan kedudukannya.

Dengan gaya penulisan yang sangat kreatif dibungkus oleh dialog-dialog imajiner, buku “Indonesia Under Attack Membangkitkan Kembali Jatidiri Bangsa ini”, akan menghapus setiap titik keraguan kita dalam membela dan mencintai Ibu Pertiwi. Buku ini akan memperlihatkan kondisi sebenarnya akan keadaan bangsa Indonesia yang ditutup-tutupi oleh mereka yang mencoba menghancurkan Negara ini, sekaligus juga membuat kita bangga akan keluhuran Budaya Indonesia, budaya yang penuh cinta kasih. Karena cinta kasih adalah satu-satunya solusi atas apa yang terjadi terhadap bangsa kita akhir-akhir ini. Berisi pula hasil dialog dalam diskusi-diskusi yang diadakan oleh National Integration Movement bersama Siswono Yudo Husodo dan Rusdy Ambo Dalle yang mengungkap fakta-fakta pengalaman hidup mereka yang tidak terungkap selama ini. Sekali lagi Kejayaan Indonesia sudah diambang pintu. Mari kita songsong kejayaan itu dengan penuh semangat dalam berkarya bagi Bumi Pertiwi ini. Indonesia Jaya!
back to top

Hypermarket dan Perekonomian Masyarakat Bali (BaliPost 2007)

Opini in Balipost

Hypermarket dan Perekonomian Masyarakat Bali


Keberadaan Hypermarket Carrefour di Bali mengundang kekhawatiran dari perusahaan lokal. Assosiasi Pengusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Bali sempat mendesak Disperindag agar menghentikan Carrefour di Bali. Menjawab keresahan itu, Seorang Corporate Affaairs Director Carrefour Indonesia mengatakan tidak perlu dikhawatirkan “ Pengalaman kami di tujuh kota di Indonesia membuktikan kami bisa hidup berdampingan, “. (Balipost, 17/02)

Bisakah hidup berdampingan?. Bisa, jika masih memiliki nurani. Masihkah ada nurani di hati kita? Siapa yang mau dibohongi? Belajar dari kenyataan yang terjadi di lapangan fakta memperlihatkan hidup berdampingan antara pasar modern seperti hypermarket dan pasar tradisonal seperti pasar Badung paling lama setahun, setelah itu kematian menjemput yang lemah. Hal itu sudah terjadi di Jabotabek, sebanyak 29 pasar tradisonal telah mati. Persaingan memang menjadi hal yang biasa dalam dunia bisnis, mati dan mematikan pun hal yang biasa. Selama masih memegang prisip bisnis utama ala Sun Tzu, “ Kemenangan harus menjadi tujuan utama “.

Perusahaan-perusahaan di mana pun berada bebas menentukan supplier mana yang akan dijadikan patnernya. Awalnya untuk menarik simpati masyarakat, penduduk daerah sekitarnya diterima bekerja dan supplier lokal di prioritaskan. Seiring dengan waktu berjalan dalam dunia dagang tidak ada mitra sejati, satu pihak diuntungkan lain pihak pasti dirugikan. Siapapun yang datang dan menawarkan harga termurah dialah yang akan jadi pemenangnya. Entah dia pemain lokal atau pemain asing, mereka biasanya tidak akan peduli.

Saat ini Cina menjadi pemenangnya, hampir di setiap hipermarket-hipermarket di manapun berada di seluruh dunia 80 % dikuasai oleh produk Cina. Semua barang yang di jual ada label made in Cina, di import dari Cina. Pertanyaannya, sampai berapa lamakah pemain-pemain atau supplier-supplier lokal mampu bertahan dan dipertahankan, tidak didepak keluar dengan alasan persaingan harga. Adakah jaminan untuk itu?.

Bali selama ini terjerumus oleh pembangunan yang hanya mendewakan materi, hal lain yang menjadi penyokong daya magis Bali terabaikan. Hal ini dapat kita buktikan, begitu bom jatuh 2 kali, kehidupan kita langsung luluh-lantak. Para wisatawan dengan mudahnya beralih ke Malaysia, Thailand, Vietnam dan Srilangka. Bali merana, masyarakat Bali menderita. Kenapa? tanya kenapa, karena Bali lupa akan Balinya. Bali kehilangan daya magisnya akibat pembangunan yang tidak selaras dengan alamnya.

Kalau kita berkunjung ke India, kita akan dapat merasakan betapa masih kentalnya aroma khas India masuk kesetiap sel-sel syaraf kita. Dari manusianya, Industrinya dan bangunan-bangunan disekitarnya begitu selaras, serasi dan seimbang dengan alam disana. India menawarkan India kepada setiap orang yang berkunjung kesana. India tidak menawarkan Mc Donal, KFC, Carrefour dan lain sebagainya. Yang mereka tawarkan adalah makanan khas India, Pasar khas India, Toko yang menjual kerajinan khas India, bangunan-bangunan khas India dan sebagiannya. Itu Istimewa, itulah daya magis India yang menarik jutaan manusia dari segala penjuru dunia.

Tamu-tamu yang datang seperti terhipnotis, merasakan suasana yang tidak akan mereka rasakan di tempat lain. Rasa itu masuk kedalam alam bahwa sadar mereka, setiap saat akan memunculkan kerinduan untuk datang dan datang lagi ketempat itu.

Bangunan Hypermarket seperti Carrefour banyak dimana-mana, hampir ada di setiap negara. Butuh pikiran yang jernih dan hati yang bersih untuk menjawab pertanyaan apakah Bali sebenarnya membutuhkan hipermarket itu? Apakah Turis yang berlibur ke Bali datang karena ingin melihat dan belanja di hypermarket. Adakah keistimewaan yang di dapat oleh Bali dengan adanya hipermarket itu.

Kalau kita sedikit sadar dan mau melihat jauh ke depan. Berapa banyak keuntungan yang didapat dan berapa banyak kerugian yang harus di tanggung oleh Bali. Sebandingkan hal itu? Adakah pelajaran penting yang dapat kita petik dari kejadian banjir dan ancaman pemanasan global yang kini banyak di khawatirkan masyarakat dunia. Kalau Bali, pemerintah dan masyarakatnya tidak sadar. Bali akan di tinggalkan oleh tamu-tamu yang mulai sadar akan dampak pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan memberi kontribusi yang besar pada peningkatan pemanasan global seperti bangunan-bangunan hipermarket itu.

Bapak Anand Krishna-Tokoh spritual lintas agama memberikan kita sebuah renungan, yang patut kita renungkan bersama. Seorang petani dari Bedugul menanam sayur-mayur. Setelah panen, petani kita menjual sayur-mayurnya itu ke hipermarket, perusahaan milik orang asing. Lalu kita, masyarakat Bali yang membutuhkan sayur-mayur yang di tanam sendiri harus beli di hipermarket, perusahaan milik orang asing. Dan itu terjadi di daerah kita sendiri, di Bali. Sungguh tidak masuk akal dan betapa tidak sadarnya kita selama ini. Kita membutuhkan sebuah perusahaan broker asing untuk membeli sayur-mayur milik kita sendiri. Para pemilik hypermarket adalah pengusaha-pengusaha luar negeri yang sudah kaya raya dan kita perkaya lagi dengan memberikan izin kepada mereka untuk membangun hipermarket di Bali. Uang yang diperoleh dari semua keuntungan itupun akhirnya akan diboyong ke luar negeri. Bali sendiri dirugikan.

Pemerintah kita saat ini terikat oleh perjanjian Internasional (WTO) dan akibat hutang yang menumpuk tidak berdaya untuk menolaknya. Walaupun sebenarnya mungkin di hati kecil mereka menyadari hal ini. Tidak ada jalan lain, satu-satunya solusi yang ditawarkan oleh Bapak Anand Krishna adalah kekuatan rakyat. Kesadaran rakyat untuk tidak belanja ke ke tempat itu. Kesadaran karena apabila masyarakat berbelanja maka mematikan perekonomian masyarakat setempat. Dan masyarakat Bali adalah masyarakat yang sadar, dengan komitmen dan kesadarannya membangun Bali bersama-sama akan mampu melakukan hal itu. Kesadaran atau Viveka masyarakat inilah yang harus dibangun oleh setiap manusia Bali yang peduli akan kelangsungan Budaya Bali. Semua ini adalah tanggung jawab kita bersama. Sudah bukan saatnya lagi saling tuding dan membiarkan sesuatu terjadi tanpa kita bersuara.